Rabu, 09 Mei 2012

Manchester City merayakan gol yang dicetak oleh Yaya Toure saat melawan Newcastle United

BOLA DUNIA TERPERCAYA DAN NOMER SATU
KLIK DISINI !!!


STRIKE BOLA -- Ketika para penggemar sepak bola Inggris mendatangi sejumlah stadion hari Minggu (13/5) guna menandai berakhirnya musim Liga Primer tahun ini, tanyailah mereka. Saya yakin, selain penggemar Manchester United (MU), penonton lain akan mendukung Manchester City untuk menjadi juara liga. Para manajer klub besar, seperti Arsenal, Liverpool, dan Tottenham Hotspur, pun berharap sama.

Perasaan bahwa ”asal tidak Manchester United yang juara” mestinya terasa dan sangat berharap untuk menjadi kenyataan. Berbagai alasan menyertai pendapat mereka. Namun, munculnya juara baru di sebuah liga selalu disambut baik karena berbagai alasan.

Alasan utama, jelaslah bahwa kalau MU yang menjadi juara, semakin ”jemawa” mereka dengan koleksi gelar. Tahun ini, kalau MU tidak menjadi juara liga, musim ini boleh dianggap sebagai kegagalan. Bukan tidak mungkin ini akan menjadi awal dari berakhirnya era Manajer Sir Alex Ferguson.

Penampilan paling mengecewakan tentunya adalah di Liga Champions. Sebab, dalam tahun-tahun belakangan, juara liga sudah dianggap rutin. Dengan demikian, harapan penggemar juga semakin meningkat agar mereka secara konsisten merajai Eropa.

Bila tanpa gelar apa pun nantinya pada musim ini, pertanyaan akan muncul mengenai nasib Ferguson. Dengan usia sudah di atas 70 tahun, pasti muncul gugatan, apakah bukan waktunya bagi MU untuk berganti manajer sebelum nantinya proses peremajaan manajer (mencari manajer yang lebih muda) terlambat.

Mungkin terlalu pagi berspekulasi bahwa Ferguson akan dicampakkan begitu saja. Namun, seperti kata bijak ”seminggu adalah waktu yang lama dalam politik”. Ini bisa juga terjadi dalam olahraga. Lihatlah contohnya Pep Guardiola di Barcelona. Sebulan lalu, tidak banyak orang menduga bahwa dia tidak akan lagi melatih klub Catalan tersebut pada musim mendatang.

Bukan tidak mungkin MU akan menaikkan posisi Ferguson menjadi direktur sepak bola sambil bertugas ”membimbing” manajer baru.

Kemenangan City juga bagi manajer seperti Arsene Wenger di Arsenal dan Kenny Dalglish di Liverpool akan menurunkan ”tekanan” terhadap diri mereka. MU sudah menjadi standar ukuran bagi klub-klub besar seperti Chelsea, Arsenal, Tottenham, ataupun Liverpool.

Dalglish bisa mengatakan gelar juara piala liga paling tidak bisa dijadikan ukuran ”keberhasilan” dirinya di Liverpool. Bagi penggemar Arsenal, paling tidak mereka bisa mengatakan ”tidak apa-apa, toh sama-sama tidak mendapat gelar”.

Bagi City sendiri, bila mereka menjadi juara, akan menjadi gelar pertama setelah 44 tahun, masa penantian yang lama. Di paruh pertama ketika City memimpin liga, banyak pihak di Inggris mengkhawatirkan bahwa gelar juara dapat dibeli dengan uang karena City merupakan klub terkaya di dunia.

Namun, kemudian perjalanan yang agak terseok-seok dan malah hampir saja betul-betul tersalip oleh MU kembali membuktikan bahwa meramu sebuah tim untuk berhasil di lapangan lebih dari sekadar mengeluarkan dana besar guna membeli pemain-pemain mahal.

Sama seperti perjalanan Chelsea beberapa tahun sebelumnya ketika dibeli oleh Roman Abramovich, perjalanan City —paling tidak musim ini—akan memberi harapan bagi klub-klub lain. Keberhasilan David Moyes menangani Everton selama 10 tahun terakhir dengan dana terbatas membuktikan bahwa uang bukan segalanya.

Jadi, bila City juara, gelar tahun ini terbagi rata. Liverpool merebut Piala Carling dan Chelsea merebut Piala FA. Tentu saja Chelsea masih berpeluang merebut gelar Liga Champions. Bila pun menang, manajer sementara Roberto Di Matteo pasti dapat pujian. Namun, pemecatan manajer sebelumnya, Andre Villas-Boas menunjukkan tidak konsistennya mereka selama musim ini, paling tidak di Liga Primer Inggris.